Selasa, 13 Juli 2010

Backgroud of Good Corporate Governance (GCG)

Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Berikut adalah beberapa pengertian mengenai GCG:
1. Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya.
2. Menurut Center for European Policy Studies (CEPS) GCG merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses, serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan.
3. Menurut ADB (Asian Development Bank) GCG mengandung empat nilai utama yaitu: Accountability, Transparency, Predictability dan Participation.
4. Di indonesia,GCG dapat didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance merupakan:
a. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder lainnya.
b. Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
c. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.

Latar belakang (background) GCG dapat ditinjau dari latar belakang praktis dan latar belakang akademis. Latar belakang praktis dapat dilihat dari pengalaman Amerika Serikat yang harus melakukan restrukturisasi corporate governance sebagai akibat market crash pada tahun 1929. Corporate governance yang buruk disinyalir sebagai salah satu sebab terjadinya krisis ekonomi politik Indonesia yang dimulai tahun 1997.
Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat pada saat ini juga ditengarai karena tidak diterapkannya prinsip-prinsip GCG, beberapa kasus skandal keuangan seperti Enron Corp., Worldcom, Xerox dan lainnya melibatkan top eksekutif perusahaan tersebut menggambarkan tidak diterapkannya pronsip-prinsip GCG.
Dari latar belakang akademis, kebutuhan good corporate governance timbul berkaitan dengan principal-agency theory, yaitu untuk menghindari konflik antara principal dan agentnya. Konflik muncul karena perbedaan kepentingan tersebut haruslah dikelola sehingga tidak menimbulkan kerugian pada para pihak.
Korporasi yang dibentuk dan merupakan suatu Entitas tersendiri yang terpisah merupakan Subyek Hukum, sehingga keberadaan korporasi dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) tersebut haruslah dilindungi melalui penerapan GCG.
Selain pendekatan model Agency Theory dan Stakeholders Theory tersebut di atas, kajian permasalahan GCG oleh para akdemisi dan praktisi juga berdasarkan Stewardship Theory, Management Theory dan lainnya.

The Evolution Of Good corporate Governance (GCG)
Sulit kita pungkiri,selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah Good Corporate Governance (GCG) kian populer dan dirasa penting. Hal itu, setidaknya terwujud dalam dua keyakinan. Pertama, GCG merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan persaingan bisnis global - terutama bagi perusahaan yang telah mampu berkembang sekaligus menjadi terbuka.
Kedua, krisis ekonomi dunia, di kawasan Asia dan Amerika Latin yang diyakini muncul karena kegagalan penerapan GCG. Di antaranya, Sistem Regulatory yang tidak jelas, Standar Akuntansi dan Audit yang tidak konsisten, praktek perbankan yang lemah, serta pandangan Board of Directors (BOD) yang kurang peduli terhadap hak-hak pemegang saham minoritas.
Berdasarkan keyakinan-keyakinan di atas itulah maka tidak mengherankan jika selama dasawarsa 1990-an, tuntutan terhadap penerapan GCG secara konsisten dan komprehensif datang secara beruntun. Mereka yang menyuarakan hal itu di antaranya adalah berbagai lembaga investasi baik domestik maupun mancanegara, termasuk institusi sekaliber World Bank, IMF, OECD, dan APEC. Dengan melontarkan beberapa prinsip umum dalam GCG seperti fairness, transparency, accountability, stakeholder concern, dapat disimpulkan bahwa penerapan GCG diyakini akan menolong perusahaan dan perekonomian negara yang sedang tertimpa krisis bangkit menuju ke arah yang lebih sehat, maju, mampu bersaing, dikelola secara dinamis serta profesional. Ujungnya adalah daya saing yang tangguh, yang diikuti pulihnya kepercayaan investor.
Sangat jelas bahwa perhatian terhadap corporate governance belakangan ini terutama dipicu oleh skandal spektakuler perusahaan-perusahaan publik di Amerika dan Eropa, seperti Enron, Worldcom, Tyco, London & Commonwealth, Poly Peck, Maxwell, dan lain-lain.Cadbury Report (UK) dan Treadway Report (US) secara mendasar menyebutkan bahwa keruntuhan perusahaan-perusahaan publik tersebut dikarenakan oleh kegagalan strategi maupun praktik curang dari manajemen puncak yang berlangsung tanpa terdeteksi dalam waktu yang cukup lama karena lemahnya pengawasan yang independen oleh corporate boards.

Pada awalnya, corporate governance hanya memfokuskan diri pada masalah-masalah yang berkaitan dengan pemisahan antara kepemilikan oleh para pemegang saham (ownership by shareholders) dan pengendalian manajemen (control by management). Namun akibat dari perkembangan yang begitu cepat, dunia bisnis harus mempertimbangkan keterkaitan dengan berbagai pihak. Perusahaan harus mengikuti serta menjawab berbagai tantangan yang asalnya dari pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders). Menurut Cornell dan Shapiro, dalam tulisannya di majalah Financial Management, yang berjudul “Corporate Stakeholders and Corporate Finance”, bahwa perusahaan sekarang harus memberikan jawaban yang memuaskan bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) yang dari waktu ke waktu semakin beragam (diverse) demi mencapai maksimalisasi nilai dalam jangka panjang (schieving long-run value maximization).
Namun istilah corporate governance itu sendiri secara eksplisit muncul pertama kali pada tahun 1984 dalam tulisan Robert I. Tricker.

The Objective of Good Corporate Governance (GCG)
1. Prinsip-Prinsip GCG:
Transparansi (transparency), yakni keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materil dan relevan mengenai perusahaan.
Akuntabilitas (accountability), yaitu akni adanya kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban dari organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan dapat terlaksana secara efektif.
Kemandirian (independency), yakni pengelolaan perusahaan dilakukan secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan prinsip-¬prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
Responsibility (Pertanggungjawaban), akni kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap ketentuan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
Fairness (Kewajaran), yakni keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Maksud dan Tujuan

GCG bagi suatu perusahaan dimaksudkan sebagai pedoman manajemen dan pegawai dalam menjalankan praktek bisnis yang memenuhi persyaratan Good Governance. Sedangkan tujuannya adalah :
• Memaksimalkan value Perusahaan dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan.
• Memastikan pengelolaan Perusahaan dilakukan secara profesional, transparan, dan efisien.
• Mewujudkan kemandirian dalam membuat keputusan sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing pimpinan dalam Perusahaan tersebut.
• Memastikan setiap pegawai dalam perusahaan berperan sesuai wewenang dan tanggung jawab yang telah ditetapkan.
• Mewujudkan praktek bisnis yang sejalan dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance secara konsisten.

3. Pihak-pihak yang berperan dalam menjalankan praktek GCG, adalah :

• Pemegang Saham, yakni pemegang saham/pemilik modal yang harus dilindungi hak-haknya berdasarkan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
• Dewan Komisaris (BOC), yakni Dewan Pengawas yang mempunyai tanggung jawab dalam mengawasi kebijakan pengelolaan perusahaan yang dilakukan para pimpinan Perusahaan.
• Pimpinan Perusahaan/Direksi (BOD), yakni pejabat yang ditunjuk pemegang saham untuk mengelola perusahaan serta wajib mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada pemegang saham/pemilik modal.
• Pimpinan Unit yakni pejabat yang ditunjuk Pimpinan Perusahaan sebagai penanggung jawab pelaksanaan operasional.
• Pejabat Struktural yakni pegawai yang ditunjuk Pimpinan Perusahaan untuk menjalankan fungsi didalam unitnya dan bertanggung jawab kepada pimpinan unit.
• Pegawai, yakni orang yang bekerja pada Perusahaan dan menerima gaji berdasarkan hubungan kerja.

4. Parameter Implementasi GCG

• Compliance (kepatuhan) yaitu sejauh mana perusahaan telah mematuhi aturan-aturan yang ada dalam memenuhi prinsip-prinsip GCG.
• Conformance (kesesuaian dan kelengkapan) yaitu sejauh mana perusahaan telah berperilaku sesuai dengan berbagai aspek yang menjadi prinsip GCG dan kelengkapan perangkat dalam memenuhi kebutuhan implementasi GCG.
• Performance (unjuk kerja) yaitu sejauh mana perusahaan telah menampilkan bukti (evidence) yang menunjukkan bahwa perusahaan telah mendapatkan manfaat yang nyata dari perapan prinsip GCG di dalam perusahaan.
5. Manfaat dan Faktor Penerapan GCG

Esensi corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui sepervisi atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap shareholders dan pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku. Untuk meningkatkan akuntabilitas, antara lain diperlukan auditor, komite audit, serta remunerasi eksekutif. GCG memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan efektif sehingga tercipta mekanisme checks and balances di perusahaan.
Seberapa jauh perusahaan memperhatikan prinsip-prinsip dasar GCG telah semakin menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi. Terutama sekali hubungan antara praktik corporate governance dengan karakter investasi internasional saat ini. Karakter investasi ini ditandai dengan terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana melalui ‘pool of investors’ di seluruh dunia. Suatu perusahaan dan atau negara yang ingin menuai manfaat dari pasar modal global, dan jika kita ingin menarik modal jangka panjang yang, maka penerapan GCG secara konsisten dan efektif akan mendukung ke arah itu. Bahkan jikapun perusahaan tidak bergantung pada sumber daya dan modal asing, penerapan prinsip dan praktik GCG akan dapat meningkatkan keyakinan investor domestik terhadap perusahaan.
Di samping hal-hal tersebut di atas, GCG juga dapat:
1. Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang (wrong-doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
2. Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan.
3. Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang.
4. Menciptakan dukungan para stakeholder (para pihak yang berkepentingan) dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan.
Manfaat GCG ini bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga dalam jangka panjang dapat menjadi pilar utama pendukung tumbuh kembangnya perusahaan sekaligus pilar pemenang era persaingan global.
Akan tetapi, keberhasilan penerapan GCG juga memiliki prasyarat tersendiri. Di sini, ada dua faktor yang memegang peranan, faktor eksternal dan internal.
Faktor Eksternal
Yang dimakud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG. Di antaranya:
a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif.
b. Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik/ lembaga pemerintahaan yang diharapkan dapat pula melaksanakan Good Governance dan Clean Government menuju Good Government Governance yang sebenarnya.
c. Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best practices) yang dapat menjadi standard pelaksanaan GCG yang efektif dan profesional. Dengan kata lain, semacam benchmark (acuan).
d. Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG di masyarakat. Ini penting karena lewat sistem ini diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai kalangan masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG secara sukarela.


e. Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan implementasi GCG terutama di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan publik di mana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan dan perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan skor perusahaan dalam implementasi GCG.
Faktor Internal
Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG yang berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor dimaksud antara lain:
a. Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan G CG dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan.
b. Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG.
c. Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah standar GCG.
d. Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi.
e. Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.

The main issue of GCG

Implementasi GCG saat ini telah menjadi isu sentral dalam kalangan publik di Indonesia. Respon pihak Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan swasta maupun perusahaan multinasional sangat positif atas upaya mewujudkan GCG tersebut. Berbagai program di negara kita selama ini, sering kali hanya menjadi demam sesaat dan kurang menyentuh pada tataran implementasi dalam pengelolaan bisnis di Indonesia. Konsep mengenai GCG tidak hanya penting untuk diketahui oleh Chief Executive Officer (CEO) semata, namun perlu juga diketahui oleh karyawan, pemegang saham, Pemerintah termasuk pihak masyarakat (publik). Oleh karena itu adanya upaya untuk menyebarluaskan konsep & implementasi GCG perlu kita dukung bersama. Lembaga-lembaga internasional, seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) dan Organization for Economic Countries Development (OECD) bekerjasama dengan Pemerintah berbagai Negara turut menyebarluaskan pengetahuan mengenai GCG. Beberapa lembaga di Indonesia yang turut serta secara aktif mensosialisaikan dan mengembangkan konsep GCG yaitu Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) , The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG), Transparency International Indonesia (TII) dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI).

Example of good and bad corporate

Bad Corporate
Beberapa Tipikal Penyimpangan Korporasi :
• Penggunaan perusahaan sebagai vehicle untuk mendapatkan dana murah dari masyarakat.
• Ketidakterbukaan atas informasi bisnis yang berisiko.
• Penggunaan nama perusahaan untuk pinjaman pribadi.
• Keputusan bisnis yang diambil karena moral hazard.
• Intervensi pemegang saham atau pihak lain dalam kegiatan perusahaan.
• Adanya praktik perusahaan dalam perusahaan.
• Perusahaan “highly leveraged” tidak mempertimbangkan service capacity.
• Diversifikasi dan ekspansi usaha yang tidak prudensial.
• Risiko tidak dikelola secara hati-hati.
• Diabaikannya hak-hak pemegang saham minoritas.
Contoh Jatuhnya Enron:
Skandal keuangan Enron menguncang AS dengan akibat yang mencengangkan. Belum lama berselang, perusahaan raksasa energi itu masih bertengger di peringkat 7 dalam Fortune 500 (daftar perusahaan terkaya versi majalah Fortune). Omset bisnisnya pada tahun 2000 lalu tercatat sekitar US$ 100 miliar, kurang lebih sama dengan total pendapatan kotor negeri sebesar Indonesia pada tahun yang sama.
Enron dipandang sukses menyulap diri dari sekedar perusahaan pipanisasi gas alam di negara bagian Texas pada tahun 1985 menjadi raksasa global dalam beberapa tahun terakhir. Dia membeli perusahaan air minum di Inggris dan membangun pembangkit listrik swasta di India. Konsep bisnisnya yang visioner dan futuristik membuatnya menjadi bluechip di lantai bursa Wall Street. Harga sahamnya pun terus meroket. Akhir tahun 1999, Enron meluncurkan Enron Online yang dianggap akan mengubah wajah bisnis energi masa depan. Dengan memanfaatkan internet, divisi e-commerce itu membeli gas, air minum, dan tenaga listrik dari produsen dan menjualnya kepada pelanggan atau distributor besar.
Enron bahkan memperluas wilayah bisnisnya dengan membangun jaringan telekomunikasi berkecepatan tinggi serta bertekad menjual bandwidth jaringan itu seperti dia menjual gas dan listrik. Setelah itu mungkin dia akan berjual-beli online untuk kertas daur ulang pabrik miliknya.
Tidak berapa lama setelah dia memasuki bisnis jasa video-on-demand, menjual tayangan video kepada pelanggan via sambungan internet kecepatan tinggi, harga saham Enron pun mencapai puncaknya, yaitu US$ 90 perlembarnya pada Agustus 2000. Meski kemudian merosot bersama jatuhnya saham-saham teknologi dan internet lain, pertengahan tahun 2001 nilai pasar Enron (jumlah lembar saham dikalikan harganya) masih berkisar US$ 60 miliar, atau dua kali lipat anggaran belanja Indonesia kala itu.
Pada Oktober 2001, Enron menjatuhkan bom dahsyat di Wall Street dengan melaporkan kerugian ratusan juta dolar pada kwartal itu. Akibatnya milyaran dolar investasi para pemegang saham menguap hampir seketika. Sangat mengejutkan, karena Enron hampir selalu membawa berita gembira ke lantai bursa dengan selama empat tahun berturut-turut melaporkan keuntungan.
Kabar buruk itu membanting harga saham Enron dari sekitar US$ 30 menjadi sekitar US$ 10 perlembar, hanya dalam hitungan hari. Securities Exchange Commission (SEC), badan Pengawas pasar Modal AS mencium ada yang tidak beres dan mulai menggelar penyidikan. Dalam kondisi terdesak, Enron menjatuhkan bom yang lebih dahsyat lagi ke lantai bursa ketika pada tanggal 8 November 2001 mengakui bahwa keuntungannya selama ini adalah fiksi belaka. Enron merevisi laporan keuangan lima tahun terakhir dan membukukan kerugian sebesar US$ 586 juta serta tambahan catatan hutang sebesar US$ 2,5 miliar. Salah satu episode paling menarik dipertontonkan saat komite kongres mengundang aktor utama komedi, yaitu Kenneth L. Lay, Presiden Komisaris sekaligus CEO Enron, pada Februari 2002.
Sejak akhir tahun 2000, ketika harga saham Enron di posisi puncak, para eksekutif menjual saham yang mereka miliki dengan total nilai US$ 1,1 miliar. Selama empat tahun terakhir, Kenneth sendiri diperkirakan meraup untung US$ 205 juta dari penjualan sahamnya. Dalam kurun waktu yang sama dia membujuk karyawan dan para investornya untuk membeli saham Enron, antara lain dengan iming-iming laporan keuangan yang menjanjikan, padahal palsu. Bahkan, pada 26 September 2001, ketika harga saham jatuh menjadi US$ 2,5 per lembar, Ken Lay masih mencoba menghibur karyawannya untuk tidak menjual saham, sebaliknya membujuk mereka untuk membeli lagi saham perusahaan. Dalam e-mail yang dikirimkan kepada para karyawan yang risau, dia mengatakan perusahaan dalam kondisi sehat secara keuangan dan bahwa harga saham Enron “luar biasa murah” dalam posisi itu. Namun, hanya beberapa pekan kemudian, Enron melaporkan kerugian yang bermuara pada kebangkrutannya. Para karyawan tidak bisa menjual saham mereka sampai semuanya sudah terlambat dan “Enron kehilangan nilai sama sekali”.
Good Corporate Governance
Contoh nyata yang dapat kita lihat dari penerapan/implementasi GCG pada perusahaan adalah pada Bank BNI. BNI telah menyelenggarakan beberapa program terkait dengan peningkatan implementasi GCG, di antaranya penandatanganan komitmen penerapan GCG oleh setiap anggota komisaris, direksi, pemimpin divisi dan pemimpin wilayah, dan penandatanganan ”Pakta Integritas” bagi setiap anggota panitia pengadaan barang/jasa dan unit pengguna barang/jasa, peluncuran. Awal tahun lalu, BNI mengadakan sosialisasi tentang gratifikasi dalam acara Vendor Gathering, serta meluncurkan Media Pengaduan, sebagai bentuk perlindungan terhadap rekanan/vendor dalam mengikuti proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan BNI, secara transparan, wajar dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai GCG, dalam waktu dekat juga akan diluncurkan aplikasi e-learning tentang GCG bagi seluruh pegawai BNI.
Selain itu, Untuk meningkatkan implementasi good corporate governance (GCG), BNI bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan sosialisasi mengenai tindak pidana korupsi di kantor pusat dan seluruh kantor wilayah BNI seluruh Indonesia. Kegiatan dimulai sejak awal Agustus 2008 lalu di masing-masing wilayah operasional BNI, yaitu Medan, Batam, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Makasar, Denpasar, Banjarmasin, Manado dan Jakarta.
Sebagai pengakuan implementasi/penerapan GCG, tahun lalu BNI meraih penghargaan dari Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) sebagai ”Perusahaan Terpercaya 2007.” Tahun ini, sebagai bentuk transparansi laporan ke publik, BNI juga mendapat penghargaan kategori BUMN Financial Listed dengan Laporan Tahunan terbaik.

The Relationship between corruption and GCG
Salah satu kendala yang dihadapi perusahaan (korporasi) khusunya perusahaan di Indonesia saat ini adalah masih maraknya budaya korupsi yang sangat bertentangan dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG). Beberapa kalangan terutama para pengamat, budayawan & rohaniwan menganggap bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi sesuatu yang endemic, systemic & wide spread, artinya korupsi telah merambah secara sistematis di berbagai lapisan masyarakat dari kalangan lapisan bawah sampai lapisan atas, sehingga sulit untuk diberantas sampai keakar-akarnya. Ibarat suatu penyakit, korupsi telah menjadi akut (kronis) dan penyembuhannya memerlukan waktu yang berlarut-larut. Hal tersebut dapat terjadi tentu saja terkait dengan masalah implementasi GCG.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa buruknya kualitas GCG di suatu negara akan berbanding lurus dengan indikator-indikator lainnya, seperti tingkat daya saing, peringkat korupsi, indeks harapan hidup dll. Perusahaan yang tidak mengimplementasikan GCG, pada akhirnya dapat ditinggalkan oleh para investor, kurang dihargai oleh masyarakat (publik) dan, dapat dikenakan sanksi apabila berdasarkan hasil penilaian ternyata perusahaan tersebut melanggar hukum. Perusahaan seperti ini akan kehilangan peluang (opportunity) untuk dapat melanjutkan kegiatan usahanya (going concern) dengan lancar. Namun sebaliknya perusahaan yang telah mengimplementasikan GCG dapat menciptakan nilai (value creation) bagi masyarakat (publik), pemasok (supplier), distributor, pemerintah, dan ternyata lebih diminati para investor sehingga berdampak secara langsung bagi kelangsungan usaha perusahaan tersebut. Pada saat ini GCG sudah bukan merupakan hal yang perlu diperdebatkan lagi, melainkan sudah menjadi kebutuhan bagi setiap pelaku bisnis untuk mengimplementasikan pada aktivitas bisnis sehari-hari.

Untuk meminimalisasi terjadinya tindak penyimpangan terhadap implementasi GCG pada perusahaan khusunya korupsi,perusahaan dapat melakukan kegiatan pengawasan dan pengendalian. Pengawasan adalah proses, evaluasi pelaksanaan pengelolaan Perusahaan untuk memastikan proses berjalan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mendukung pencapaian tujuan Perusahaan.
Dalam melaksanakan fungsi pengawasan ini perlu disusun ketentuan yang dapat dijadikan pedoman prosedur audit internal dalam pelaksanaan tatakelola perusahaan yang meliputi:
a.Mekanisme audit internal.
b.Tugas, wewenang dan tanggung jawab.
c.Pelaksanaan audit internal.
d.Mekanisme monitor dan evaluasi efektifitas upaya perbaikan.

Secara berkala Internal Auditor diwajibkan untuk mengidentifikasi resiko-resiko yang ada di Perusahaan untuk dijadikan bagian dari program pengendalian internal yang akan dilaksanakan.
Pengendalian adalah proses pencegahan terjadinya penyimpangan-penyimpangan kebijakan strategis maupun operasional Perusahaan terhadap peraturan yang berlaku maupun ketentuan-ketentuan pengelolaan perusahaan Publik.
Dalam melaksanakan pengendalian ini, maka manajemen Perusahaan perlu untuk:
a.Memeriksa seluruh kebijakan Perusahaan yang telah ataupun akan ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku
b.Mengusulkan perubahan dan perbaikan keputusan bila tidak sejalan dengan peraturan yang berlaku.
c.Memberikan masukan dan saran, terhadap Pegawai dan Pimpinan Perusahaan.

Komite Pengawasan Penerapan GCG

Dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian GCG perlu dibentuk Komite Pengawas Penerapan GCG yang membantu manajemen dalam menjalankan fungsi pengawasan pelaksanaan GCG.Tugas Komite ini adalah mengawasi dan memastikan jalannya proses tindakan administrasi maupun tindakan hukum lainnya yang harus dilaksanakan Perusahaan telah sejalan dengan peraturan perusahaan maupun ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.Komite Pengawasan GCG melaksanakan tugasnya sesuai dengan uraian tugas, wewenang dan tanggung jawab dan mekanisme kerja komite serta bertugas menetapkan bisnis proses pengaduan dan penanganan penyimpangan penerapan GCG.Seluruh manajemen dan pegawai perusahaan diwajibkan untuk melaksanakan pedoman dan ketentuan yang telah disusun dalam rangka pelaksanaan GCG sejalan dengan peran dan tanggung jawabnya.
• Adapun kewajiban Komite Pengawasan meliputi:
a. Mensosialisasikan disiplin perusahaan dan lingkungan yang terkendali guna menghindari terjadinya kecurangan keuangan dan penyimpangan;
b. Meningkatkan kualitas pelaporan keuangan dan keterbukaan;
c. Menelaah ruang lingkup, akurasi, dan efektivitas biaya eksternal audit;
d. Menelaah independensi dan objektivitas eksternal auditor.

1 komentar:

  1. Artikel ini sangat kritis, lugas dan jelas. implementasi serta impact dari GCG sangat jelas di paparkan. terima kasih atas informasinya.

    BalasHapus